BERDIRINYA
KABUPATEN BANDUNG MENURUT
Prof. Dr. A. Sobana
H. M.A
(Wawancara tanggal
14 Oktober 2011)
Ketika Kerajaan
Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari
Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun
1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi
Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai
daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan
Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik
dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi
wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi
Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran
Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624
Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang
(Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik
Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati
Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan
Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati
Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.
Adipati Ukur |
|
|
Akibatnya, ia
menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede
ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati
Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan
Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami
kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu
ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga
Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta
para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap
Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan
Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap
penguasa Kerajaan Mataram.
|
Terjadinya
pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain
karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung,
akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan.
Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka
kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan
beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur
tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah
"pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati
Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan
reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi
daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga
Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten
Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Silsilah Prabu Siliwangi - Dipati Ukur |
Ketiga orang kepala
daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi
mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya
sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan
gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan
berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu
tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9
Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi
sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Samudera Indonesia |
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.
Wilayah
administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad
ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data
tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal
Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk
daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.
Boleh jadi, daerah
Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh,
yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila
dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya
mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran,
Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain,
termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung
sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan
berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan
Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki
berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol
dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas
rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh
pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud
adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang,
hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak
mengadili.
Dengan sangat
terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran
apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa
seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan
dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam
menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti
patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat
(pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung
berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten
Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram -
Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan
Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap
berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi
dengan Kompeni.Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan,
karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan
jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati
tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal
yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya,
Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah
Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban
utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman
tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu
disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan
ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat
pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni
di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir
dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari
bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun
rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan
oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya
kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di
Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam
orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan
Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati
angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704,
Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R.
Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A.
Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa
pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung
dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
0 Saran Dan Komentar:
Posting Komentar